O R C H I D R I E N N E

Dear words, shall we have a date?

[FAN FICTION] CHOCOLATE: Part 1

Leave a comment

Author : Ariesy Perdana

Casts :

  • (Infinite) Jang Dongwoo
  • (Sistar) Kim Dasom
  • (Sistar) Yoon Bora
  • (Boyfriend) Jo Youngmin, Jo Kwangmin
  • Another Infinite guys

Recommended backsound :

  • Candy – HOT/Infinite/Teen Top
  • Free Loop – Daniel Powter

Gadis itu lagi. Berjalan tanpa menyapa siapa pun (atau memang dia tidak mengenal siapa pun di daerah ini), melewati tokoku. Rambutnya pendek dan ia suka pakai t-shirt dan skinny jeans. Ia tampaknya dari sebuah jurusan, entah apa, di fakultas teknik. Aku sering melihat tabung gambar berwarna hitam tersampir di bahunya, menemani ransel hijau kesayangannya (mungkin itu kesayangannya, karena aku tidak pernah melihatnya mengenakan ransel lain. Kecuali kalau ia memang hanya punya satu) yang warnanya sudah pudar. Aku bahkan melihat bekas coklat di sana. Mungkin tertumpah kopi. Dengar-dengar mahasiswa dari teknik suka mengerjakan gambarnya (yang di dalam tabungnya itu gambar kan?) hingga larut malam bahkan bisa sampai pagi. Mungkin ia suka minum kopi untuk menahan kantuknya. Aku ingin tahu apa saja yang dikerjakannya yang tersimpan di dalam tabung itu.

Ngomong-ngomong, aku Jang Dongwoo. Toko permen ini milik orangtuaku. Aku bekerja paruh waktu di sini. Jika sedang tidak ada kelas, aku lebih suka berdiri di sini, bekerja di tokoku sendiri, melayani pembeli, menyebutkan jenis-jenis permen, coklat, menghitungnya di kasir, dan memilih love song untuk diputar sembari pelanggan sedang memilih. Semua itu jauh lebih menyenangkan daripada main-main keluar. Aku kadang menyelesaikan tugasku di meja kasir, jika tugas itu tidak boleh dikerjakan dengan komputer.

Dan gadis itu, aku tidak tahu namanya. Seingatku ia tidak pernah ke sini. Karena pramuniaga di tokoku mengaku sering melihatnya melintas tapi tidak pernah masuk. Dan entah kenapa aku peduli. Cewek suka makanan manis kan? Memang tidak semuanya, tapi setidaknya ia bisa datang sekali dua kali. Dia toh punya saudara, teman, atau mungkin seseorang untuk diberi coklat. Kurasa di sekitar sini, toko kami yang terbesar.

Kurasa ia tidak tertarik.

$$$$$$$$$$

“Jadi, kurasa, kau bahkan belum tahu namanya,” Myungsoo menarik kesimpulan. Kami sedang mengerjakan tugas di rumahnya bersama anggota kelompok yang lain dan tiba-tiba saja Myungsoo mengangkat topik Si-Gadis-Yang-Hanya-Melintas ini di depan teman-temanku. Bagaimana mungkin Kim Myungsoo yang sudah kuanggap saudara sendiri malah buka mulut.

Sunggyu menjatuhkan pensilnya dengan dramatis. Ketua kelompokku ini termasuk seseorang dengan personaliti ambigu. Menyebalkan sekali ketika aku harus menebak apa maksud dari scene pensil jatuh tadi. Bisa jadi karena Sunggyu memang penasaran dengan ucapan Myungsoo barusan.

Aku menatap Myungsoo dengan kode etik persahabatan yang kusadari sudah terlambat. Manusia paling abstrak di kelompok tugasku, Lee Sungyeol (kadang pikiran sintingnya menyuruh kami memanggilnya tuan muda), berdiri dengan lututnya dan mendekatkan wajahnya ke arah kami.

“Tidak perlu bisik-bisik, Sungyeol. Akustiknya bagus di sini. Jadi, bagaimana soal gadis tadi? Kita bicara soal gadis kan?” tanya Hoya. Aku berdecak kesal. Myungsoo memang tidak bisa dipercaya.

“Kau naksir seseorang?” tanya Sungjong sembari memasukkan satu lagi permen kunyah rasa coklat ke mulutnya.

“Bisa tidak sih kita kerjakan saja tugas ini?” keluhku.

“Ceritakan saja, kemudian kita kerjakan tugas ini. Hampir selesai kan?” sambar Myungsoo tanpa rasa bersalah sama sekali. Oke, ingatkan aku untuk mencekik Myungsoo setelah ini.

“Aku tentu saja tidak tahu namanya. Aku hanya suka memperhatikannya belakangan ini. Ia mungkin bukan pelanggan, tapi pelintas tetap,”

Semua tertawa. Myungsoo dan Sungyeol paling keras.

“Bisa kan kau keluar dan menawarinya sampel permen atau coklat dari tokomu?” ujar Hoya tanpa repot-repot menahan tawanya. Terlepas dari Hoya hanya meledekku atau tidak, usulnya cukup cemerlang. Toko kami belum pernah memberikan sampel gratis secara terbuka di luar gedung. Mungkin aku bisa mencobanya di waktu yang bertepatan dengan gadis itu biasa melintas.

Orangtuaku tidak menolak saat aku menawarkan pembayaran sampel dengan gajiku sendiri. Jadi hari Senin, sepulang dari kuliah, aku bergegas pulang ke rumah. Para pegawai di tokoku sudah meletakkan meja bertaplak dan keranjang-keranjang mungil berisi sampel berbagai permen dan coklat. Aku meletakkan tasku di kamar dan kembali ke toko dengan t-shirt kesayanganku.

Tidak lama untuk menunggu meja sampel didatangi orang. Dan sebagian besar yang mencicipi sampel itu langsung membelinya. Appa mesti menaikkan gajiku soal ini.

Gadis itu datang seperti yang kuharapkan. Dengan ransel hijau pudar dan tabung gambar di bahunya. Kali ini ia bersama tiga temannya. Seorang gadis cantik berambut panjang, dan…sepasang saudara kembar. Mereka tertawa-tawa hingga si gadis berambut panjang memutar arah menuju ke meja sampel di mana pegawaiku sedang melayani seorang anak kecil.

“Hei, Kembar! Kemari! Katanya kalian minta coklat dariku?” gadis itu menyeret si kembar ke arah meja sampel. Si gadis rambut pendek mengikuti. Aku suka melihat wajah ingin tahunya.

“Mau menipu kami? Kami minta dibelikan karena kau sudah janji. Coklat dari meja sampel tidak masuk hitungan. Tanpamu kami juga bisa ambil sendiri. Jangan pelit deh, Bora,” tandas si kembar yang berambut pirang. Gadis yang bernama Bora itu cemberut.

“Kau ini suka merendahkan ya, Youngmin. Nanti kubelikan ke dalam. Tapi aku ingin mencicipi sampelnya dulu! Ayooo!” Bora menyeret kedua tangan si kembar. Si gadis rambut pendek kembali mengikuti. Aku harus timbulkan kesan baik.

“Ih, yang ini lucuuu! Kau lihat bentuknya, huh, Kembar?” tanya Bora, yang tampaknya tidak mau repot-repot memanggil salah satu dari si kembar.

“Yang ini lebih bagus. Bentuk pistol. Kau harus belikan kami yang ini. Ya, kan, Kwangmin?” si pirang menoleh pada saudara kembarnya yang berambut coklat. Yang bernama Kwangmin mengangguk.

“Iya, iya. Kubelikan. Ayo masuk,” Bora memasukkan sebuah sampel coklat berbentuk siluet wajah anak perempuan dari samping ke mulutnya. Kemudian Bora tampak melupakan sesuatu dan ia menoleh ke belakang. Ke arah si gadis rambut pendek.

“Ayo deh, Dasom!” Bora merengek.

Oh, namanya Dasom. Dasom si gadis pelintas.

“Kalian saja deh,” tolak Dasom dengan ekspresi datar. Bora mengangkat bahu dan mereka bertiga masuk ke dalam toko. Meja sampel masih ramai. Tapi kubiarkan pegawaiku mengurus pengunjung. Aku tidak ingin menyiak-nyiakan kesempatan ini. Gadis ini sudah di depan mataku.

“Kau sering lewat di depan tokoku,” aku membuka percakapan. “aku mengenali wajahmu,”.

Dasom mengerutkan dahinya.

“Kau mengenali wajahku?” tanyanya. Aku tertawa.

“Sebenarnya hanya dari samping. Karena kau tidak pernah menoleh ke tokoku. Tapi aku memperhatikan…yeah, ranselmu,” ujarku jujur. Dasom tertawa, cantik sekali. Padahal aku sudah pasrah saja kalau ternyata gadis itu memang tidak punya ekspresi.

“Ini ranselku satu-satunya. Aku akan beli yang baru kalau ada uang,” ucapnya.

“Ngomong-ngomong, aku Jang Dongwoo. Anak pemilik toko ini. Kau…tidak mau mengambil satu-dua sampel?” tanyaku. Dasom memandangi sampel itu dengan ragu.

“Kau belum pernah mencoba makanan sampel?” tebakku. Ia tertawa.

“Yeah, mencicipi makanan sampel terasa aneh bagiku. Karena aku tidak punya uang lebih untuk membeli. Jadi karena aku tidak berniat membeli, lebih baik sampel ini untuk yang akan membeli saja. Dan ngomong-ngomong namaku Dasom”

“Ya ampun. Coba saja deh. Sampel berarti gratis kan? Siapa saja boleh mencobanya. Kau tidak perlu terbebani untuk langsung membeli. Itulah yang namanya bagian dari promosi,” jelasku. Dasom berpikir sejenak, kemudian tersenyum. Ia meletakkan telunjuknya di dagu dan matanya sibuk menjelajahi deretan gula-gula di depannya.

“Kau punya rekomendasi?” tanya Dasom. Aku ikut menjelajahi meja sampel, dan memilihkan sebentuk coklat mungil berbentuk ransel hijau, membuat Dasom kembali memamerkan senyumnya.

“Bagaimana bisa kalian membuat coklat berbentuk ransel hijau dan bukannya warna lain? Ini masih rasa coklat kan? Atau aku akan menemukan kejutan seperti rasa…ransel?” Dasom bergurau.

“Hahaha. Yang jelas warna hijaunya dari pewarna alami. Coba saja,”

Dasom memasukkan coklat mungil itu ke mulutnya dan mengecap-ngecapnya. Ia mengangguk dan tertawa.

“Hm…saus mint, wafer, dan…coklat. Serius deh, kau licik sekali. Aku bisa ketagihan!” ujarnya. Kami tertawa bersama dan Bora serta si kembar muncul dengan menenteng sekantung coklat.

Mereka melambaikan tangannya padaku dan melangkah pergi. Aku menghela napas dengan perasaan lega dan puas. Setidaknya aku tahu namanya dan kami sempat ngobrol.

$$$$$$$$$$

Aku pulang bersama kelima temanku. Kami baru saja dari perpustakaan dan akhirnya revisi tugas kami selesai juga. Kami berlima memutuskan untuk mampir ke restoran cepat saji dan makan sepuasnya di sana. Entah kenapa Sunggyu seperti mengulur-ngulur waktu istirahat tadi. Akhirnya kami menyelesaikan tugas tanpa makan siang. Ketua kelompok yang ‘baik’.

Mataku tertumbuk pada sepasang anak kembar. Itu si kembar yang kemarin. Entah mereka mengenaliku atau tidak, tapi yang berambut pirang melambaikan tangannya dan berjalan ke arah kami bersama saudara kembarnya.

“Kau yang di toko permen itu kan? Serius deh, manisan di sana enak banget! Ya kan, Kwangmin?”. Yang berambut coklat mengiyakan tanpa melepaskan pandangannya dari kentang goreng di baki. Nampaknya ia sudah sangat lapar.

“Kalian tidak bersama…oh itu dia!” ujarku begitu mataku tertumbuk pada Bora. Gadis itu ikut melambai.

“Jangan dengarkan kata si kembar. Mereka pasti sedang membujukmu mengadakan acara sampel lagi,” ujar Bora riang. Aku tertawa. Myungsoo tampak menatap Bora tanpa kedip.

“Seret saja meja kalian ke sini. Kita makan bersama. Aku Kim Myungsoo,” tahu-tahu Myungsoo sudah berdiri dan memberi salam. Bora dan si kembar membalasnya. Kemudian Hoya dan Sungyeol membantu menyeret meja dan bangku agar kami bisa makan bersama.

“Kalian cuma bertiga?” tanyaku. Aku tidak melihat tanda-tanda kalau Dasom bersama mereka. Bukannya aku tidak suka mereka di sini, dan bukannya aku ingin makan bersama mereka cuma karena mengira Dasom sedang bersama mereka sih.

“Dasom langsung pulang ke rumah,” sahut Youngmin.

“Ia memang tidak suka menghabiskan waktunya untuk senang-senang,” Kwangmin melanjutkan. Aku mengangguk-angguk.

“Dasom itu gadis yang melintas di tokomu itu ya?” tanya Sungjong tanpa pandang situasi. Sungjong memang suka mengeluarkan apa yang ia pikirkan begitu saja. Aku mencoba memperingatkan Sungjong, tapi ia hanya angkat bahu dan kembali mengunyah fish fillet-nya.

“Gadis yang melintas?” tanya Bora heran.

“Jangan dengarkan Sungjong,” aku buru-buru meralat. Kemudian mengganti topik.

“Tampaknya kalian suka coklat ya?” ujarku. Youngmin mengacungkan jempolnya dan mengangguk sementara mulutnya penuh dengan kentang goreng.

“Kami semua suka coklat, kecuali Dasom. Dia alergi dengan makanan itu,” ujar Kwangmin. Bora memelototinya.

“Kwangmin! Kau penyimpan rahasia paling payah dalam sejarah hidupku!”

“Ups! Aku tidak tahu kalau Dasom merahasiakannya,”

Aku terdiam. Tercengang sesaat. Dasom alergi coklat? Lalu kenapa gadis itu seolah-olah benar-benar menikmati coklat kemarin? Memang dia cuma makan satu sih.

“Oh, dia alergi coklat?” aku berusaha menjaga intonasi suaraku agar terdengar tidak terkejut. Tapi aku tahu semua temanku sudah memandangku. Aku memberitahu mereka soal pertemuanku dengan Dasom.

“Iya sih. Tapi…tidak terlalu parah, kok! Sungguh. Cuma mungkin kemarin…” Bora tampak ragu. Ia dan si kembar saling pandang. Biar kutebak. Mereka tidak mau aku merasa bersalah.

“Dia tidak apa-apa kan?” tanyaku mulai khawatir.

“Yeah. Aku…belum pernah melihat Dasom batuk-batuk separah itu. Tapi hari ini ia sudah masuk kuliah, kok! Sudah tidak batuk-batuk lagi. Ya, kan, Kwangmin?” Youngmin lagi-lagi minta pendapat saudara kembarnya.

“Iya. Tenang saja deh. Kau kan tidak tahu. Dasom yang payah. Dia kan bisa menolak…” Kwangmin menggantungkan kalimatnya begitu Bora dan Youngmin memelototinya. Ucapannya barusan sedikit tidak sopan.

“Err…maksudku, Dasom terlalu baik untuk menolak,” ralat Kwangmin lagi. Bora dan Youngmin menghela napas lelah.

“Lebih baik aku diam saja, deh,” Kwangmin melanjutkan makan. Tapi ucapan Kwangmin sungguh tidak berpengaruh padaku. Kurasa Kwangmin ada benarnya juga. Dasom seharusnya menolak coklat dariku waktu itu.

“Bisa sampaikan maaf dariku?” ucapku, merasa bersalah.  Ketiga anak itu tersenyum.

“Tenang saja. Nanti aku telepon Dasom,” ujar Bora.

Kami berbincang sejenak usai menikmati makanan dan Bora beserta teman kembarnya pulang. Aku menghela napas dan meniupkannya lewat mulut.

“Tidak perlu merasa bersalah, Dongwoo,” ujar Sunggyu.

“Oh yeah. Bagaimana bisa aku tidak merasa bersalah?”

“Gadis itu memang tidak bilang kan?” tanya Sungyeol.

“Memang. Tapi ia juga tidak mengambil sampel itu. Aku yang merekomendasikannya. Tidak pernah terpikir olehku ada orang yang alergi dengan coklat. Ia mengunyahnya bahkan menganalisis rasanya. Aku tidak tahu kalau sepulang dari tokoku alerginya kumat,” aku merasa payah sekali.

“Ya ampun, sudahlah. Gadis itu kan tidak masuk rumah sakit. Alerginya juga kedengarannya tidak parah,” Hoya mencoba menenangkanku. Dan ngomong-ngomong ini idenya. Tapi aku tidak menyalahkan Hoya. Aku hanya mengangguk.

$$$$$$$$$$

Dasom melintas lagi. Lengkap dengan ransel  hijaunya dan tabung gambar. Kali ini ia membuka pintu toko permenku dan kebetulan sore itu aku dapat giliran menjaga. Ia tersenyum dan memberi salam. Aku harus bicarakan soal kemarin.

Dasom menghampiriku.

“Hey, aku perlu rekomendasi lagi. Aku ingin memberi si kembar coklat karena sudah membantuku menyelesaikan maketku semalaman. Menurutmu selain pistol mereka akan suka diberikan bentuk apa lagi ya?” cerocos Dasom. Aku memberikan isyarat pada pegawaiku untuk menggantikanku di meja kasir sementara aku mencarikan sebentuk coklat.

Akhirnya mataku tertumbuk pada coklat berbentuk botol soda, dengan rice crispy warna-warni yang menempel di badan botol, dan menyisakan leher botol yang berwarna coklat. Tutup botol itu dibentuk mirip aslinya, dengan menggunakan coklat putih.

Dasom membulatkan bibirnya, tampak kagum dengan coklat yang kurekomendasikan.

“Berapa harganya…untuk dua kotak?” tanya Dasom. Ia mengeluarkan dompetnya dan aku mencegahnya.

“Tidak perlu. Anggap saja ini permintaan maafku soal kemarin. Kwangmin bilang kau alergi coklat,” ujarku. Dasom tertawa.

“Waktu kubilang ‘tidak punya uang lebih untuk membeli’, bukan berarti aku sama sekali tidak punya uang, Dongwoo. Itu sisa uang yang kukumpulkan untuk membeli bahan maket dan keperluan studio dan sisanya mau kuhadiahkan pada si kembar. Mereka membuat miniatur pohon dengan mata terpejam. Hehe. Oh, dan soal alergi itu…sudahlah. Aku toh kalau ingin makan coklat ya aku makan,” celoteh Dasom lagi. Ia ternyata memang bukan anak tanpa ekspresi seperti yang aku pikirkan.

“Baiklah. Kau boleh membayar. Asalkan kau mau pergi denganku Sabtu nanti. Ranselmu benar-benar perlu diganti atau uangmu yang tidak seberapa itu akan kecopetan,”

Dasom terbahak-bahak dan menyetujuinya. Ia bukan anak yang gampang tersinggung. Dan kurasa aku punya kencan Sabtu nanti.

$$$$$$$$$$

Aku termasuk orang yang terorganisir dalam melakukan sesuatu. Tapi aku benar-benar tidak punya ide akan mengenakan pakaian kasual atau malah formal. Tapi mengingat aku dan Dasom mungkin hanya akan jalan-jalan, cari ransel, dan mampir ke restoran, kurasa tuxedo akan jadi lelucon yang bagus. Jadi aku memutuskan untuk mengenakan kemeja putih bergaris vertikal warna biru dan sweater hitam. Rambutku yang kucat pirang (dan setelahnya baru berdebat dengan ayahku) kubentuk spike. Selanjutnya aku hanya pakai deodoran. Aku tidak suka terlalu banyak memandikan badanku dengan berliter parfum seperti yang Myungsoo sarankan, atau lakukan.

Aku pergi ke dapur dan membuka lemari pendingin. Di situ terdapat sebentuk coklat. Aneh, aku belum pernah melihat coklat seperti ini. Coklat itu seukuran ujung jari, tanpa hiasan apa pun. Biasanya toko kami tidak akan membiarkan sebuah coklat tidak dihiasi apa pun.

Tapi mungkin coklat itu memang belum dihias. Aku tidak mempermasalahkan lebih lanjut mengapa hanya satu yang berbentuk seperti itu. Masa bodoh. Kurasa itu produk kami yang gagal.

Aku memasukkan coklat itu ke mulutku. Enak. Tapi mungkin bentuknya memang gagal hingga ditaruh di situ tanpa diberi hiasan apa pun.

Tiba-tiba kerongkonganku terasa panas. Tepat ketika gerak peristaltik mendorong coklat yang sudah kulumat masuk ke bagian awal saluran pencernaan. Dan rasa panas itu tiba-tiba berubah jadi dingin. Dingin yang menusuk. Aku bahkan merasa seluruh tubuhku beku, tidak bergerak.

Dan meleleh.

Kemudian membeku lagi.

Untuk beberapa detik aku menganggap ini hanya mimpi. Mimpi yang aneh. Mimpi bahwa aku meleleh, kemudian membeku, dan tergeletak di atas box adonan coklat yang lain di lemari pendingin coklat.

Mimpi yang membuatku sadar bahwa sesuatu yang salah telah terjadi. Tidak hanya karena aku akhirnya sadar bahwa aku sekarang adalah seonggok coklat seujung jari tanpa bentuk yang bagus dan hiasan, tapi juga karena kulihat diriku dengan kemeja putih dan sweater hitam, masih berdiri di depan pintu lemari pendingin yang terbuka, menatapku sambil tersenyum.

“Selalu dan selalu,” aku mendengar tubuh manusiaku bicara. Kemudian ia melanjutkan, “selalu saja, jika aku berhasil dicetak dengan indah, aku dapat hiasan bagus. Jika bentukku gagal, tempatku hanya di lemari pendingin, atau diberikan kucing, atau lebih buruk, tidak pernah tersentuh sama sekali. Padahal aku ingin setidaknya diisi dengan cairan mint, atau raisin. Tapi tidak pernah,”

Hey, siapa yang ada di tubuhku ini?! Aku tidak ingin jadi coklat!

Tapi tubuhku yang berdiri di depan lemari pendingin ini terus berbicara.

“Aku juga ingin dinikmati semua orang. Dihias seperti apa pun, coklat tetap coklat kan? Kenapa kalian, para pembuat manisan, memperlakukan produk gagal seperti…produk gagal? Kalian bisa kan mencairkanku kembali, kemudian membentukku kembali? Dengan rice crispy? Atau biarkan saja aku terjual dengan bentuk seperti ini! Kalian pemilik toko benar-benar semaunya sendiri!”

Oh tidak. Aku mulai paham. Jiwaku tertukar dengan…sebentuk coklat yang bahkan tidak berbentuk. Ya Tuhan.

Sekarang yang berada dalam tubuhku itu adalah produk gagal dari pabrikku. Tersenyum menatapku yang membeku di atas piring kecil di pendingin, dengan tubuh tidak lebih besar dari ujung jari.

“Ngomong-ngomong,” ia melanjutkan, sembari melihat ke pakaian yang kukenakan, atau diriku kenakan, “kau mau jalan dengan gadis itu ya? Well, tenang saja. Aku akan jadi Jang Dongwoo yang baik. Dan karena sekarang kau tampak menyedihkan, kau bisa ikut aku. Dan lihat apa yang bisa dilakukan oleh sepotong coklat dengan gadismu,” ia tertawa.

Ya Tuhan, dia akan menggantikanku pergi dengan Dasom. Aku berusaha untuk bicara, tapi tidak punya ide soal bagaimana caranya berkomunikasi dengan si coklat yang sudah masuk ke dalam tubuhku.

Jang Dongwoo alias si coklat mengangkat coklat gagal  alias aku dan dimasukkannya ke sakunya. Ini bukan hal baik. Aku bisa meleleh dan menempel pada sakuku sendiri. Si coklat ini mau membunuhku rupanya. Bagaimana jika aku jatuh, terinjak?

Bagaimana jika aku tidak kembali ke diriku yang asli?

Aku harus melakukan sesuatu.

TO BE CONTINUED

Author: namtaegenic

I love Allah SWT. I love Prophet Muhammad SAW. I love my family. Post-graduated from Architecture study program in Universitas Sriwijaya. Like imagining. Like food. Like sleeping.

Leave a comment